A. Pendahuluan
Birokrasi yang merupakan organisasi pemerintah selama ini mendapatkan image yang kurang baik, rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis ekonomi memperparah krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik.ditambah dengan adanya praktik-praktik KKN, dan orientasi kekuasaan yang amat kuat, sehingga para pejabat birokrasi lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada pelayan masyarakat.berbagai fenomena di atas menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan dan legitimasi pemerintah dan birokrasi di mata publik. Ini semua terjadi karena pemerintah dan birokrasinya telah gagal menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa melindungi dan memperjuangkan kepentingan publik. Praktik-praktik KKN yang terjadi dalam kehidupan birokrasi telah menjadi semakin jauh dari masyarakatnya. Orientasi kekuasaan membuat birokrasinya menjadi semakin tidak responsif dan tidak sensitif terhadap kepentingan masyarakatnya. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi selama ini ternyata juga menciptakan berbagai distorsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang cenderung memperburuk krisis ekonomi dan politik yang terjadi dan politik yang terjadi. Birokrasi dilihat dari bahasa adalah: berasal dari kata “Bureau” yang berarti meja tulis yang menunjukan tempat para pekerja, dan ditambah dengan kata “cracy” yang berarti mengatur. Kemudian ada dari istilah birokrasi menurut Max Webber adalah. Dengan melihat ciri-ciri pokok pada struktur birokrasi bahwa birokrasi adalah sistem administrasi yang rutin yang dilakukan dengan keseragaman, diselenggarakan dengan cara-cara tertentu, didasarkan atas aturan yang tertulis, oleh orang-orang yang berkompeten dibidangnyaJadi yang dimaksud dengan birokrasi adalah: sebagai suatu sistem organisasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan, serta admisnistrasi pemerintah untuk memberi pelayanan kepada publik
Di akhir kekuasaan Orde Baru, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan proreformasi. Birokrasi dianggap sebagai salah satu penyakit yang menghambat akselerasi kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat.Ungkapan klasik dan kritis seperti: misalnya kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas
Di indonesia dan negara-negara berkembang birokrasi masih dipandang sebagai sebuah sistem pemerintah yang cenderung bersifat sebagai seorang tuan dalam menjalankan kebijakan maupun pelayanan. Hal ini disebabkan karena adanya monopoli pelayanan dan kebijakan tanpa ada kompetisi yang jelas. Kewenangan monopolis yang selama ini dimiliki oleh pemerintah maupun birokrasi dalam menjalankan kebijakan telah mengakibatkan kinerja kebijakan menjadi buruk karena kebijakan dijalankan dengan “semaunya” sesuai dengan kepentingan pejabat tertentu.
Hal seperti diatas mengakibatkan krisis kepercayaan dari masyrakat kepada birokrasi pemerintah birokrasi lebih sebagai penguasa dari pada pelayan masyarakat dan hgal in tercermin dalam proses kebijakan publik lebih cenderung kepada kepentingan penguasa dari pada kepentingan publik ada banyak penjelasan kenapa pemerintah gagal dalam menjlankan kenerja kebijakan dan pelayanan publik yaitu dengan menggunakan metafora biologi, yaitu ada liuma DNA, kode genetika,dalam tubuh birokrasi dan pemerintah yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Sikap dan perilaku dari suatu birokrasi dan pemerintah dalam penyelenggaraan kebijakan akan sangat ditentukan oleh kelima DNA yang dikelola, yaitu misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya. Kelilam hal tersebut akan mempengaruhi satu sama yang lainya dalam memebentuk birokrasi yang menjalankan kebijakan
B. Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah menurut UU No 32 tahun 2004
Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi Negara tersebut adalah pentingnya public service sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan. Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi berlangsung sangat cepat. Semenjak reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi struktur birokrasi pemerintah daerah dua kali. Masing-masing melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial (social re-engineering) guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Dalam skala kecil, hal ini dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat. Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan birokrasi pemda dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif dan profesional. Setidaknya, stigma masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pemda dapat dikurangi. Agar birokrasi pemda semakin peka, maka dirasa perlu untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik. Kepemimpinan tegas Otonomi daerah (otda) jelas tidak serta-merta
menyelesaikan sejumlah persoalan saat ini. Pelaksanaan otda perlu diimbangi penataan manajemen sektor public (public management reform), struktur kelembagaan (institutional reform), serta budaya kerja aparatur. Pentingnya melakukan penataan birokrasi ini sesuai tuntutan dan perkembangan zaman, serta pengembangan manajemen yang mengarah pada pasar (market based public administration). Pengembangan model ini diharapkan dapat membangun budaya manajemen sektor publik yang ramah pasar serta berorientasi kinerja. Perubahan ini membawa konsekuensi terhadap adanya perubahan dan pendekatan penggunaan anggaran yang tidak lagi menggunakan penganggaran tradisional, melainkan berbasis kinerja. Kesemuanya itu menuntut langkah efisiensi dan pemangkasan biaya serta kompetisi tender. Jika demikian, manajemen sektor publik perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan lebih menekankan langkah-langkah efesiensi dan profesionalisme birokrasinya melalui penataan pegawai, meninjau kembali model pendidikan dan latihan pegawai, memperbaiki reward and punishment system, perbaikan kesejahteraan pegawai serta mengubah kultur birokrasi. Pemerintah juga perlu berpikir ulang untuk menentukan model pengelolaan pemerintahan yang demokratis yang memberi ruang bagi partisipasi publik. Hemat kata, garis depan kinerja birokrasi adalah pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik. Kata kunci dari hal-hal tadi, penataan birokrasi pemerintahan daerah membutuhkan kepemimpinan daerah yang tegas. Ketegasan ini bukan hanya dalam pengertian pemikiran, melainkan sikap serta pendisiplinan budaya kerja, sehingga benar-benar mampu memberi warna baru, semangat baru, dan arah baru dari pemda. Indonesia kini sudah tidak kekurangan calon pemimpin, baik pemimpin daerah maupun pimpinan pusat. Hal yang masih terasa miskin dimiliki bangsa kita yaitu hadirnya kepemimpinan yang tegas dalam mengawal perubahan reformasi pemerintahan menuju pemerintahan Indonesia yang bersih dan berwibawa. Dalam konteks inilah, menata birokrasi masa depan tanpa kepemimpinan yang kuat dan tegas hanya menyebabkan bias dan kaburnya arah reformasi pemerintahan daerah di Indonesia.
Untuk merubah pelayanan birokrasi atau reformasi birokrasi pemerintah mengeluarkan undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah tentang kepegawaian yang terletak pada pasal 129 sampai 135 yang berbunyi:
Pasal 129
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional.
2. Manajemen pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Pasal 130
1. Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur.
2. Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur.
Pasal 131
1. Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
2. Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
3. Perpindahan pegawai negeri sipil provinsi/kabupaten/kota ke departemen/lembaga pemerintah non departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 132
1. Penetapan formasi pegawai negeri sipil daerah provinsi/ kabupaten/kota setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul Gubernur.
Pasal 133
1. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi.
Pasal 134
1. Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil daerah dibebankan pada APBD yang bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.
2. Penghitungan dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pegawai negeri sipil daerah dilaksanakan setiap tahun.
3. Penghitungan alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
4. Pemerintah melakukan pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pegawai negeri sipil daerah untuk penghitungan dan penyesuaian alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
Pasal 135
1. Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur.
2. Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang no 32 tahun 2004 pasal 129-129 merupakan undang-undang yang mengatur pegawai maupun birokrasi terhadap otonomi daerah, dimana daerah mempunyai wewenag untuk mengatur pegawainya, baik itu dari rekruitmen, pemindahan maupun gaji di tanggung oleh APBD dan sebagainya. Undang-undang 32 mengatur bagaimana system kepegawaian tersebut dijalankan, berbeda dengan pola sentralistik, kepegawaian diatur oleh pemerintah pusat tanpa ada wewenag dari daerah, hal ini mengakibatkan salah penempatan karena pemerintah pusat tidak menegrti kondisis yang ada di daerah
Undang undang No 32 tahun 2004 diharapkan mampu mengatasi solusi reformasi birokrasi saat ini. Banyak daerah sudah sukses menerapkan otonomi birokrasi, dari dahulu yang berbelit-belit sampai kepada yang lebih mudah dan lancer, agar birokrasi bukan merupakan penghalang pembagunan tetapi sebagai alat untuk memeprcepat pembangunan. Hal ini telah diterapkan diberbagai daerah di Indonesia seperti di Gorontalo, Sragen, Jembrana. Yang kemudian diharapkan diseluruh Indonesia.
C. Penutup
Kerinduan masyarakat tentang pelayanan birokrasi yang lebih baik terus diimpikan oleh masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu untuk meningkatkan pelayanan yang baik perlu adanya reformasi, Indonesia telah mengalami reformasi baik itu reformasi politik ekonomi sosial dan sebagainya, tetapi belum ada reformasi yang menyeluruh birokrasi di Indonesia. Dengan terbitnya undangundang no 32 tahun 2004 sebenarnya sudah jelas penataan birokrasi dari yang sentralustik kepada desentralistik, Berbagai perangkat perundang-undangan yang tertuang dalam pasal 129sampai 135 uu no 32 dan perangkat teknis lain yang menunjang merupakan sebuah instrument bukan merupakan jalan menuju kesejahteraan, akan tetapi kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terletak dari sebuah kesadaran demokrasi yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
Depertemen Dalam Negeri 2004., Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah. Jakarta. Panca Usaha.
Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta Gadjah Mada University
Karim, M., Rusli,. 2004 Birokrasi. Yogyakarta. Tiara wacana
Nasukha, Chaizi. 2004 Reformasi Birokrasi Publik Teori dan Praktek. Jakarta. Gramedia Widiasarana Indonesia
Sinambila, P., Lijan. 2008 Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta. Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar