Cari Blog Ini

Senin, 21 Mei 2012

RELEVANSI LEMBAGA DAN BIROKRASI DI INDONESIA


RELEVANSI LEMBAGA DAN BIROKRASI DI INDONESIA

Berbicara tentang masalah birokrasi serta kelembagaan pemerintah yang ada di indonesia pikiran kita terlintas dengan sesuatu yang panjang dan berbelit-belit dalam mengurus yang berkenaan dengan urusan pemerintah. Hal ini terlihat dengan adanya struktur yang panjang dan serta mekanisme yang sulit ditembus. Birokrasi kini telah menjelma menjadi new ruling class yang sangat menentukan kekuatan suatu negara. Menurut Bruno Rizzi, birokrasi sangat potensial mengekploitasi masyarakat sebagaimana kaum kapitalis terhadap kaum proletar dimasa lampau, kalau tidak diawasi secara efektif. Sebagai kelompok yang memerintah, birokrasi menurut pandangan Mark, selalu cenderung mengutamakan kepentinganya, dan memiliki kebiasaan yang disebut dengan birokratisme. Para birokrat yang ada di dalam organisasi lebih cenderung berperilaku sebagai “tuan” dari pada sebagai “pelayan”. Mereka lebih cenderung memperbanyak kegiatan dari pada memikirkan resiko, dan mereka memiliki tradisi membuat organisasi berskala besar tanpa alasan yang masuk akal. Mereka bahkan memiliki komitmen untuk menegakkan human dignity  karena mereka tidak meyakininya. Menurut saya struktur kelembagaan pemerintah pada saat ini masih cenderung  bersifat feodal, hal ini yang membuat lembaga lembaga pemeritah sudah tidak relevan lagi untuk terus dilakukan. Reformasi telah terjadi di indonesia tetapi hal ini masih belum diikuti oleh reformasi secara menyeluruh terhadap lembaga pemerintah maupun birokrasi.
Mekanisme struktur seperti ini tentu akan menghambat proses pembangunan,   hal ini diperlihatkan didalam masalah perijinan disana kan dijumpai mekanisme yang panjang dan lama, dan hal ini akan mengakibatkan para investor dan masyarakat untuk menanamkan modalnya atau berurusan dengan pemerintah. Karena pada saat ini orang lebih cenderung suka terhadap hal  praktis dan cepat. Untuk mengurus sesuatu. Saya berpendapat sebaiknya para pelayan publik bisa seperti pegawai bank yang selalu ramah terhadap masyarakat dan bersifat “mentuankan” bukan bersifat seperti raja.
Kemudian di dalam negara yang mengikuti sistem demokrasi kehadiran partai politik dalam lembaga pemerintah tidak bisa dihindari. Menurut teori liberal birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian birokrasi pemerintah tidak hanya didominasi oleh pejabat birokrasi saja yang meniti karier di dalamnya, melainkan ada pula bagian-bagian yang lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik.
Birokrasi di Indonesia selama ini merupakan organisasi publik yang melayani masyarakat, tetapi dalam kenyataanya pelayanan yang dilakukan oleh para birokrat selama ini masih belum memuaskan. Hal ini dipicu dengan tidak netralnya para birokrat terhadap partai politik, ketidaknetralan ini yang mengakibatkan birokrasi di dalam pemerintah menjadi tidak stabil. Sebagai contoh, banyak terjadi sekarang pemilihan kepala daerah, dan kepala dearah sudah tentu memiliki tim sukses, dan apabila kepala daerah tersebut terpilih maka para tim sukses akan menduduki jabatan birokrasi maupun jabatan karier yang telah ditentukan. Hal ini yang akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam birokrasi pemerintah, oleh karana itu perlu di buat model birokrasi yang jelas, karena selama ini model birokrasi di Indonesia masih belum jelas. Oleh karena itu karier di birokrat harus jelas sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja para birokrat itu sendiri, berikut ini adalah gambar strukur yang relevan untuk birokrasi di Indonesia menurut Prof Dr Miftah Toha:     

Di dalam gambar struktur diatas jelas diperlihatkan bagaiman kejelasan karier, dimana jabatan yang diisi oleh pejabat politik maupun pejabat maupun para birokrasi murni. Sehingga kenetralan birokrat akan selalu terjaga.

MEMBANGUN BIROKRASI PUBLIK DI INDONESIA


MEMBANGUN BIROKRASI PUBLIK DI INDONESIA

Di dalam negara yang mengikuti sistem demokrasi kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Menurut teori liberal birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian birokrasi pemerintah tidak hanya didominasi oleh pejabat birokrasi saja yang meniti karier di dalamnya, melainkan ada pula bagian-bagian yang lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik
Birokrasi di Indonesia selama ini merupakan organisasi publik yang melayani masyarakat, tetapi dalam kenyataanya pelayanan yang dilakukan oleh para birokrat selama ini masih belum memuaskan. Hal ini dipicu dengan tidak netralnya para birokrat terhadap partai politik, ketidaknetralan ini yang mengakibatkan birokrasi di dalam pemerintah menjadi tidak stabil. Sebagai contoh, banyak terjadi sekarang pemilihan kepala daerah, dan kepala dearah sudah tentu memiliki tim sukses, dan apabila kepala daerah tersebut terpilih maka para tim sukses akan menduduki jabatan birokrasi maupun jabatan karier yang telah ditentukan. Hal ini yang akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam birokrasi pemerintah, oleh karana itu perlu di buat model birokrasi yang jelas, karena selama ini model birokrasi di Indonesia masih belum jelas.
Model birokrasi ada 2 macam yang pertama yaitu bereucratic sublation. Yaitu suatu  pemerintahan itu bukan hanya sebagai mesin pelaksana (Weberian), akan tetapi sebagai suatu kekuatan yang bisa membuat kebijakan  yang terpisah dari kekuasaan politik. Oleh karena itu dalam beberapa hal kedudukannya seimbang, tidak lebih dan tidak pula kurang dan yang kedua adalah bereucratic atau executive ascendancy yaitu pejabat politik sebagai sebagai master, pejabat birokrasi sebagai subdoornasi dari politik anggapanya Antara lain: pejabat politik memperoleh mandat untuk memimpin dari tuhan atau rakyat atau public intersest melalaui pemilihan atau kekerasan atau melalaui penerimaan secara defacto dari rakyat.
Melihat beberapa model diatas di Indonesia yang dikenal dengan negara paling demokratis ketiga di dunia adalah birokrasi ascendasi dimana pejabat tertinggi merupakan pejabat politik, yaitu sebagai kepala maupun pemimpin tertinggi, dan pejabat birokrasi sebagai terusan subcoordinasi dimana terdapat domain-domain sendiri ada domain politik maupun domain administrasi. Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas pejabat birokrasi ini sebenarnya dipacu oleh dikotomi politik antara politik dan administrasi atau seperti telah dijelaskan diatas. Kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi superioritas atas fungsi-fungsi politik dan adminsitrasi. Dikotomi politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan dari referensi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan dan pelaksana kebijakan  antara pejabat karier dan pejabat birokrasi.
Model seperti ini dipilih karena kenetralan para pejabat birokrasi tetap akan terjaga sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan tidak ada diskriminasi. Kemudian model ini memisahkan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi yaitu antara domain politik dan domain administrasi hal ini akan mempengaruhi kebijakan dan karier seorang pejabat birokrasi tetap berjalan dan aman. Berikut adalah gambar tentang birokrasi dan politik

 


      



Minggu, 20 Mei 2012

tes tes lady gaga

Maraknya kontorversial terhadap penampilan konser Lady gaga menjadi perhatian publik. disana terlihat berbagai macam kepentingan yang saling tarik menarik antara berbagai lapisan yang "katanya" mewakili masyarakat mayoritas. baik itu dari kalangan agama seperti FPI, MUI, FUI Partai politik Islam serta Tokoh masyarakat dan adat. dan juga dari kalangan umum seperti pengamat musik, budayawan, ataupun penggemar berat lady gaga. beberapa hari terakhir kita telah melihat berbagai macam argumen dar kedua pihak yang bertentangan.

Senin, 14 Mei 2012

kebijakan publik mengatasi kebakaran hutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat kaya akan sumber daya alam terutama hutan, bahkan Indonesia tercatat sebagai paru-paru dunia karena dengan banyaknya hutan lebat yang tumbuh di negeri ini. Tetapi ironisnya pada akhir-akhir ini julukan sebagai paru-paru dunia mulai menghilang dan luntur karena adanya penggundulan dan kebakaran hutan. Dan kebakaran hutan adalah masalah yang sangat serius yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Kebakaran hutan pada saat ini sudah dalam angka yang sangat mengkhawatirkan, dan apabila hal ini terus terjadi mungkin pada beberapa tahun ke depan hutan di Indonesia akan semakin habis dan akan terus menyusut. Kebakaran hutan merupakan bencana yang tak terelakkan bagi manusia. Ketika momentum kebakaran hutan terjadi, kita tidak bisa menghentikannya dalam waktu sekejap. Menurut Hety Herawati et.all (2006), kebakaran hutan dipicu dari fenomena alam dan dari perbuatan manusia yang membakar hutan untuk kepentingan tertentu. Kebakaran hutan memberi dampak negatif yang besar terhadap masyarakat lokal, negara tetangga maupun ancaman keberlanjutan biodiversitas hutan. Kerugian yang diterima masyarakat lokal berupa ancaman kesehatan karena asap kebakaran hutan mengandung berbagai macam gas toksik, yang menimbulkan infeksi pernapasan akut. Asap kebakaran hutan juga dapat menyebar ke daerah lain, sehingga kabut yang ditimbulkannya mengganggu aktivitas masyarakat dalam menggunakan moda transportasi kendaraan, serta memperbesar probabilitas terjadinya kecelakaan di daerah karena asapnya tersebut menganggu konsentrasi pengendara kendaraan bermotor. Masyarakat yang berlokasi dekat dengan daerah kebakaran juga menghadapi risiko kerugian berupa terbakarnya rumah dan harta milik mereka. Selain itu kebakaran hutan dapat menyebabkan kerugian unit usaha akibat pemberhentian sementara kegiatan operasional unit bisnis yang berlokasi dekat dengan areal kebakaran hutan.. Kerugian dan dampak negatif yang besar dari kebakaran hutan seharusnya menjadi respons yang positif dan serius bagi elemen dan para pengambil kebijakan di Indonesia. Upaya yang telah dilakukan pengambil kebijakan terkait untuk melindungi kebakaran hutan diantaranya adalah melakukan langkah preventif dengan mensiagakan aparat keamanan hutan dan menggunakan satelit teknologi untuk mendeteksi titik-titik api di daerah yang berpotensi terjadinya kebakaran hutan. Namun demikian, hal itu tidaklah cukup optimal dalam memerangi permasalahan kebakaran hutan. Para pengambil kebijakan juga mesti memikirkan bahwa pencegahan kebakaran juga diperlukan tindakan preventif yang lebih optimal lagi, terutama di areal hutan yang beresiko besar untuk terbakar. B. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk memberi deskripsi tentang masalah yang selama ini terjadi di bangsa Indonesia setiap tahun yaitu tentang kebakaran hutan. Dengan ditulisnya makalah ini maka penulis ingin mencoba untuk mencari solusi terbaik sebagai alternatif kebijakan untuk masalah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia.   BAB II PEMBAHASAN A. Perumusan Masalah Perumusan dapat menjelaskan serta menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebabnya, memetakan tujuannya yang memungkinkan, serta memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan merencanakan peluang-peluang yang baru . Di dalam proses perumusan masalah terdapat jenis-jenis atau fase-fase ketika akan mengidentifikasi masalah. 1. Situasi Problem Kebakaran hutan adalah masalah yang sangat serius yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Kebakaran hutan pada saat ini sudah dalam angka yang sangat mengkhawatirkan, dan apabila hal ini terus terjadi mungkin pada beberapa tahun ke depan hutan di Indonesia akan semakin habis dan akan terus menyusut. Sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas Penetapan Kawasasan hutan 1950 162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 juta Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005. Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha). dan hal ini akan terus berkurang apabila Hutan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin terus berkurang hal ini disebabkan oleh terjadinya kebakaran setiap tahunnya berikut ini adalah data luas kebaran hutan di Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Menurut data yang telah didapatkan dari departemen kehutanan dalam jangka waktu 7 tahun terakhir adalah   TAKSIRAN LUAS KEBAKARAN HUTAN MENURUT DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2001 - 2006 Tahun Luas Kebakaran Hutan 2000 8.255 hektar 2001 14.351 hektar 2002 36.691 hektar 2003 13.745 hektar 2004 13.991 hektar . 2005 13.328 hektar . 2006 14,241 hektar Sumber: Data 2000 -2005 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia. Kemudian setelah melihat luas dari kebakaran hutan di Indonesia terdapat beberapa titik panas yang dilangsir oleh departemen kehutanan. Titik panas merupakan sumber dari kebakaran tersebut. JUMLAH SEBARAN TITIK PANAS YANG TERDETEKSI OLEH SATELIT NOAA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2003-2006 Tahun Jumlah titik panas 2003 34.655 2004 61.481 2005 37.896 2006 146.264 Jumlah 353.738 Sumber: Data 2000-2006 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia. Selain mengakibatkan hilangnya vegetasi alam dan terancam punahnyan flora dan fauna kebakaran hutan di Indonesia juga mengakibatkan kerugian yang begitu besar data yang dikeluarkan oleh grenomoics Indonesia mengatakan melangsir kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat baik itu langsung atau tidak langsung yang di akibatkan oleh kebakaran hutann dan lahan mencapai Rp227,19 miliar per hari. Greenomics menghitung kerugian akibat pembakaran itu berdasarkan berbagai indikator misalnya hasil kayu, non-kayu, pertanian, dan perkebunan yang musnah akibat kebakaran tersebut. Perhitungan kerugian akibat asap berpatok pada sector penerbangan, produktvitas, pariwisata, kesehatan dan kegiatan ekonomi tidak langsung. 2. Meta Masalah Kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh 2 hal yaitu perbuatan manusia dan siklus alami atau dampak dari global warming. Kebakaran yang disebabkan oleh ulah manusia merupakan penyumbang penyebab kebakaran hutan yang sangat besar. Di pulau Sumatra dan Kalimantan kebakaran kebanyakan terjadi karena ulah manusia, penyebab kebakaran dari ulah manusia ada 2 macam yaitu disengaja dan tidak di sengaja. Kebakaran hutan yang disengaja yaitu kebakaran hutan yang disebabkan karena pembukaan lahan dan perkebunan baik dari masyarakat kecil atau dari perusahaan perambah hutan yang besar. Kita mulai dari masyarakat umum dalam membakar hutan untuk membuat lahan masyarakat kurang kontrol kepada api, Sehingga api menjalar kemana-mana dan mengkibatkan api akan membesar dan sulit dikendalikan. Di Kalimantan budaya nomaden atau berladang secara berpindah-pindah mengharuskan masyarakat membakar hutan untuk membuka lahan, menurut mereka dengan cara seperti ini akan lebih praktis, efesien, murah dan cepat. Kemudian penyebab kebakaran karena perbuatan manusia selanjutnya adalah pembukaan perkebunan oleh pemerintah, kelapa sawit, karet, coklat dan yang lainya. Para stakeholders dalam perkebunan ini banyak melakukan pembakaran hutan dalam membuka perkebunan, dan hal ini juga, karena kurangnya kontrol menyebabkan api menjalar kemana-mana dan sulit dipadamkan apabila sudah membesar dan luas menjalar. Kemudian perbuatan tidak sengaja, misalnya membuang puntung rokok, atau hanya membakar sampah-rumah tangga yang kemudian menjalar dengan luas. Hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat umum dan mereka tidak menyadari dampak yang akan ditimbulkan. Setelah melihat kebakaran hutan yang disebabkan karena perbuatan manusia selanjutnya kebakaran yang disebabkan oleh alam dan pengaruh global warming, BMG mencatat ada banyak terdapat titik api baik itu di Sumatra maupun di Kalimantan, titik-titik api ini disebabkan karena panasnya cuaca dan global warming serta rusaknya ozon dan mengakibatkan sumber-sumber api muncul dimana-mana. Perpaduan antara lahan gambut, rumput maupun barang yang mudah terbakar yang terdapat di dalam hutan dan pengaruh global warming mengakibatkan hutan akan mudah terbakar, dan dalam hal ini kebanyakan titik api terdapat di tempat yang susah di jangkau dan dipantau dari darat oleh pemerintah yang terkait terutama di Kalimantan dan Sumatra. 3. Masalah Substantif Melihat beberapa meta masalah yang terjadi tentang kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini ada masalah substantif yang penting dalam merumuskan kebijakan tentang kebakaran hutan. Masalah yang paling menonjol di sini adalah kebakaran disebabkan karena perbuatan manusia yaitu dengan membakar lahan untuk membuka perkebunan dan ladang.. WALHI sebelumnya menyebutkan bahwa penyebab kebakaran hutan yang berakibat pada pencemaran asap dan meningkatnya emisi karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan lahan yang terbakar dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai 27,612 juta hektar. Data yang dimiliki oleh WALHI menunjukkan bahwa tindakan kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera dan Kalimantan dipicu oleh: pembakaran lahan untuk perkebunan sawit dan HTI oleh perusahaan dan proyek lahan sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain, antara lain Malaysia dan Singapura. Pembakaran hutan yang kami sampaikan dalam kertas posisi ini merefleksikan bahwa kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Hutan Indonesia sebenarnya masuk dalam kategori hutan hujan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kebakaran dengan sendirinya atau yang disebabkan karena faktor alam. Faktanya, kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan perkebunan. Artinya, kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan. Penyebab lain dari meningkatnya tingkat pembakaran hutan/lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh: (1) pembangunan industri kayu yang tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan kayu (HTI); (3) penegakan hukum yang lamban merespon tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan pengusaha dengan alasan meningkatkan kadar PH (kesuburan) tanah. Padahal, instrumen hukumnya melarang hal tersebut. Kebakaran yang disebabkan karena land clearing untuk membuka perkebunan tidak juga dilakukan oleh perusahaan perkebunan Indonesia saja, akan tetapi juga dilkukanoleh perusahaan luar negri seperti Malaysia, Singapura, dan yang lainya. Ada sekitar 330 ribu lahan sawit yang ada di Indonesia adalah milik Malaysia dan Singapura. 4. Masalah Formal Setelah melihat masalah substantif dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, disini akan terlihat masalah formal apa yang tepat untuk mengatasi kebakaran hutan yang ada di Indonesia. Masalah formal yang dimaksud adalah inti dari masalah yang akan sebagai bahan untuk merumuskan kebijakan. Dalam hal ini adalah kebakaran hutan yang diakibatkan dari land clearing atau pembukaan lahan untuk lahan perkebunan, yang merupakan sebagai penyumbang kebakaran terbesar d Indonesia. Hal ini merupakan masalah formal atau masalah pokok yang harus diselesaikan. B. Forecasting Forecasting adalah kegiatan untuk menentukan informasi yang factual tentang masa yang akan datang . Forecasting yang dilakukan adalah menggunakan forecast eksploratif atau peramalan yang memungkinkan analisis bisa membuat proyeksi atas dasar data masa kini dan masa lalu. Peramalan eksploratif biasanya didasarkan atas data numeric atau analisis times series. Yakni analis yang di himpun atas beberapa titik waktu dan ditampilkan secara kronologis. Analisis antar waktu memberikan penyimpulan rata-rata dari jumlah dan tingkat perubahan di masa lampau dan masa depan. Ketika di guanakan untuk membuat proyeksi, peramalan eskploratif bersandar pada 3 dasar yaitu: parsiensi, pola-pola yang teramati di masa lampau akan ditemui pada masa depan keteraturan, variasi pada masa lalu sebagaimana kecenderungan ditunjukan secara ajeg dimasa depan. Reabilitas dan validitas data, pengukuran tren akan reliable yaitu cukup cermat dan memilik konsistebsi rendah dan valid yaitu mengukur apa yang hendak diukur . Berikut ini adalah forecasting untuk luas kebakaran pada masa yang akan datang sesuai dengan data yang telah didapatkan:   Tahun (X) Luas kebakaran Hutan (Hektar) (Y) Nilai Waktu (x) Kolom Kali (xY) Kolom kuadrat (x2) 2000 8.255 -3 -24.675 -9 2001 14.351 -2 -28.702 -4 2002 36.691 -1 -36.691 -1 2003 13.745 0 0 0 2004 13.991 1 13.991 1 2005 13.328. 2 26.656 4 2006 14.241 3 42.723 9 N =7 EY= 11.4602 Ex = 0 E(xY)= -6.698 28 a = EY/ n = 11.4602 / 7 = 16.371,71 b =E ((xY)/ E(x2) = -6.698 / 28 = -239,21 Yt = 16.371 + -239,21 (7) = 14.696 Dari data statistik yang telah didapatkan dari departemen kehutanan tersebut bisa diramalkan bahwa, pada 7 tahun mendatang kebakaran hutan di Indonesia akan tetap konstan pada angka 14.696 hektar per tahun. .Walaupun kecenderungan naiknya sedikit tetapi hal ini akan sangat mengkhawatirkan apabila tidak segera di tangggulangi dengan segera hutan di Indonesia lambat laun akan segera habis terbakar. Hal ini harus segera disikapi dengan cepat karena tren menunjukkan kebakaran belum berkurang dan ada kecenderunag masih akan tetap naik walaupun sedikit. C. Rekomendasi Kebijakan 1. Kebijakan saat ini Kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi setiap tahun mengakibatkan kerugian yang besar baik itu materil maupun non materil. Hal ini seperti penyakit kronis yang sulit diobati. Banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan beberapa peraturan dan undang-undang, terdapat juga hukum dari peraturan internasional. *Instrumen Hukum Internasional:* The Geneva Convention on The Long-Range Transboundary Air Pollutan, 1979 (Konvensi Geneva 1979) : pasal 2 menyebutkan bawa mewajibkan negara-negara peserta konvensi untuk berusaha menekan serendah mungkin, secara bertahap mengurangi dan mencegah pencemaran udara termasuk pencemaran terutama untuk mendorong proses penegakan hukum, setidaknya ada instrumen hukum nasional dan instrumen hukum (perjanjian) internasional dalam kasus kebakaran hutan/lahan yang udara lintas batas. Asean Agreement on The Conservation of Nature and Natural Resources, 1985 (ASEAN ACNN): selain kerangka hukum kerjasama bidang konservasi alam dan sumber daya alam tetapi memuat juga kewajiban negara-negara ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan sebagaimana yang tercermin dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) Resolusi Singapore 1992: Menegaskan dan memperkuat kerjasama di bidang bencana alam, pencemaran udara dan air lintas batas, tumpahan minyak, pembuangan limbah berbahaya, dan kebakaran hutan. Resolusi Bandar`Seri Begawan, 1994 : Rencana Aksi Strategis ASEAN tentang Lingkungan Hidup ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollutan, 1995 (ASEAN CPTP): memuat 3 program dan salah satunya mengenai pencemaran udara lintas batas. *Peraturan perundang-undangan Indonesia:* Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 49 & 50, dengan jelas mengatur tanggung jawab pemegang izin konsesi atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan pasal 26 menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan larangan ini diatur dalam pasal 48 dan pasal 49. Undang-undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 dan 42, dengan jelas mengatur perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau pengrusakkan lingkungan hidup. Serta pasal 45 mengatur pidana di bidang lingkungan hidup jika tindakan tersebut dilakukan oleh badan hukum (perusahaan). Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan pasal 10 ayat (2) hurup b menyebutkan bahwa perlindungan hutan meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran walaupun di dalam pasal 42 dan 43 mengenai tindakan pidana diberlakukan bagi pihak yang tidak memiliki surat-surat dan ijin atas hasil hutan. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan juga mengatur larangan terhadap pembakaran hutan dan lahan, namun sanksi yang diberlakukan adalah sanksi administrasi seperti yang diatur dalam pasal 25 dan 27 UU PLH. Ketentuan di atas memperlihatkan banyaknya aturan hukum yang menyangkut larangan pembakaran hutan/lahan terutama dalam dua aturan hukum, antara lain dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Keduanya memang melarang tindakan pembakaran lahan. Sementara dalam hal tindakan pembakaran hutan masuk dalam kategori pencemaran, maka ketentuan larangan dan sanksinya pun diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH. Dari beberapa ketentuan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang kami catat. Ketentuan mengenai kebakaran/pembakaran hutan didalam UU Kehutanan sebenarnya tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran karena larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d) ditambah lagi dengan dengan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, di mana tidak ada satupun pasal yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan bagi pengusahaan hutan. Sementara ketentuan dalam PP No. 4 tahun 2001 memperkecil interpretasi penggunaan pasal 10 dalam PP No. 45 tahun 2004 tentang tindakan penegakkan hukumnya, artinya tindakan perlindungan hutan dari tindakan pembakaran akan diberlakukan bagi mereka pelaku yang tidak memiliki ijin atau surat yang sah sesuai peraturan yang berlaku. Dalam PP No. 4 tahun 2001 itu pula, ketentuan sanksi bagi pembakar hutan hanya diberlakukan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 25 dan 27 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu, UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan peraturan di bawahnya (setingkat Peraturan Pemerintah) tentang pencemaran lingkungan seperti kasus kebakaran hutan ini. Sama halnya dengan UU No. 18 tentang Perkebunan yang tidak memuat sanksi administratif bagi perusahaan yang melakukan land clearing dengan cara membakar. 2. Alternatif kebijakan Ada 2 hal yang harus dilakukan di dalam membuat kebijakan adalah: a. Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang telah ada atau yang telah ditetapkan. b. Menetapkan kriteria untuk mengevaluasi kemampuan alternatif tersebut Alternative kebijakan yang baik adalah: kebijakan yang memiki efek yang baik bagi masyarakat secara luas. Berikut ini adalah, ada sedikit uraian secara singkat merekomendasikan alternative kebijakan beberapa hal, antara lain: Perlu dilakukan upaya yang keras untuk mendorong penegakan hukum lingkungan, terutama bagi pelaku pembakar hutan dan pentingnya dilakukan koordinasi semua departemen yang terkait dengan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) atau lebih tinggi setingkat Instruksi Presiden (Inpres) seperti yang kita lihat dalam Inpres mengenai Pemberantasan Pembalakan Liar (/illegal logging/). Perlu diupayakan lahirnya Peraturan Pemerintah terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup mengenai tanggung jawab perusahaan apabila terjadi kebakaran/pembakaran di hutan/lahan di konsesinya untuk menutup celah kesimpangsiuran ketentuan hukum seperti yang telah dipaparkan di atas kebijakan yang tepat untuk mengatasi kebakaran hutan di Indonesia adalah membuat peraturan tentang pelarangan perambahan hutan dengan cara membakar hutan. Hal seperti yang diatas hanya terbatas undang-undang dan hukum. Berikut ini adalah beberapa alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh penulis: Tujuan Kriteria Alternatif Kebijakan Status Quo Modifikasi System baru Hukum UU kehutanan Sudah terdapat beberapa UU baik itu internasionanal maupun nasional, sepertui resolosi Singapore, konvensi jenewa dan No. 23 Tahun 1997 tentang PLH UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2004 dari kesemuanya itu tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran karena larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus Mempertahankan hukum seperti pada saat ini akan tetapi menambah sanksi atau penanggilangan kebakaran di dalam undang Melarang segala jenis bentuk perambahan hutan dengan membakar secara tegas, atau dibuat semacam SKB atau Inpres seperti dalam menangani illegal logging Impelementasi Lemah dan dapat dimentahkan dengan segala alasan serta masih bisa mencari celah Pengawasan terhadap UU secara ketat . dan terus dijalankan dengan pengawasan Memperkuat secara intensif, baik itu pengawasan, pelaksanaan maupun penanggulangan dari birokrasi sampai stake holder yang terkait dengan hutan Efektifitas Aparatur Aparatur di indonesia masih lemah dan potensi terjadi KKN cukup besar. Hal ini yang bisa di manfaatkan oleh pelaku pembakar hutan. dan kemudian aparat yang kurang professional di bidangnya. Melakukan perubahan yaitu dengan menerapkan pengawasan serta memberi sanksi yang tegas terhadap aparat terkait dengan yang menyimpang Merekrut aparat yang professional di bidang kebakaran hutan. Serta menonaktifkan bagi aparat yang menyimpang. Dan memberi reward bagi yang berprestasi Izin membuka lahan tanpa membakar hutan Menggunakan status HPH atau hak tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, untuk land clearing. Akan teapi masih bisa membakar dengan alasan murah,efektif dan praktis. Masih memberikan status izin HPH, tetapi akan dicabut apabila melakukan land clearing dengan membakar hutan Tidak memberikan segala bentuk membakar lahan dan hutan dengan izin apapun. HPH dan sebagainya boleh dimiliki oleh negara. Hukuman/Sanksi Hanya terdapat hukuman administrasi saja. Mempertahankan hukuman administrasi akan tetapi menambah denda menjadi lebih besar Membuat hukuman penjara yang berat seperti dalam illegal logging sereta mencabit hak uasahanya Sarana prasarana Pemadam kebakaran Masih terbatas dan masih meminjam alat pemadam ke negara lain. Karena menyewa ke negara lain sangat mahal Menggunakan sarana/alat ke negara sendiri seperti, alat pemadam menggunakan pesawat menywa pada TNI dan swasta. Menambah alat pemadam baru, yaitu dengan membeli pesawat pemadam dengan alat yang canggih Alat pengamanan/operasional lainya Masih seperti diatas. Terbatas dan belum mampu menjangkau bagian pelosok hutan Menggunakan alat yang ada akan tetapi melibatkan masyarakat setempat dalam operasional pengawasan, pemantauan dan keamanan. Menambah alat operasional kebakaran seperti pendeteksi, kebakaran, satelit atau pesawat pemantau kebakaran. D. Evaluasi alternatif kebijakan Evaluasi mempunyai arti berhubungan, masing-masing menunjukkan pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum evaluasi dapat disamakan dengan dengan penaksiran, pemberian angka, dan penilaian. Evaluasi memiliki beberapa fungsi dalam analisis kebijakan yaitu: evaluasi memberi kepercayaan yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalaui tindakan publik. Kemudiam evaluasi memberi sumbangan pada klarifkasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Berikutnya adalah evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode analisis lainya agar termasuk perumusan masalah dan yang lainya. Berikut ini adalah hasil evaluasi yang telah penulis lakukan. 1. Kebijakan Status Quo Kebijakan status quo pada kebakaran hutan di Indonesia ada kekurangan dan kelebihan hal itu terlihat dalam penegakan hukum, seperti UU kehutanan masih bersifat mencegah dan tidak memasukan sanksi kedalam UU atau peraturan pemerintah. Berikutnya adalah implementasi dari dari hokum tersebut masih dikatakan masaih lemah sehingga para pengusaha hutan masih bisa mencari celah. Pada masalah efektifitas terdapat tiga kriteria yaitu: Aparatur pemerintah pada saat ini masih tergolong masih lemah, dikatakan lemah karena potensi terjadi KKN masih sangat besar. Seperti suap dan sebagainya. Kemudian berikutnya adalah izin membuka lahan dan hutan boleh dilakukan. Tetapi dengan menggunakan status HPH dan pengusahaan hutan serta pemungutan hasil hutan. Dengan hal ini para pengusaha masih bisa melakukan land clearing dengan membakar lahan dengan alasan murah, efektif, serta praktis. Selanjutnya pada masalah hukuman, pada saat ini hanya terbatas pada hal hukuman secara administrasi saja tanpa ada sanksi yang berat, sehingga para perambah hutan tidak merasa jera. Didalam sarana dan prasrana pada saat ini masih sangat terbatas keberadaanya, hal ini mengakibatkan lambatnya proses pemadman menjadi lambat dan kebakaran menjadi semakin luas. Kemudian terbatasnya alat pemantau yang menjadikan kebakaran di daerah pelosok menjadi sulit dipantau dan dijangkau. Kebijakan status quo pada saat ini masih tergolong sangat lemah hal ini ditunjukan dengan adanya beberapa hukum yang tidak berjalan serta aparatur yang berpotensi pada KKN serta hukuman yang masih lemah hanya terbatas pada hukuman administrasi. Serta sarana prasarana yang terbatas hal ini akan mengakibatkan kebakaran akan terus terjadi apabila tidak terjadi perubahan 2. Kebijakan modifikasi Kebijakan modifikasi merupakan alternative kebijakan yang memodifikasi kebijakan yang telah ada baik itu mengurangi atau menambah kebijakan yang telah ada. Tetapi tidak merubah seluruhnya. alternatif kebijakan modifikasi dalam sektor hukumya hanya menambah sanksi dan penaggulangan yang komperehensif kedalamnya. Kemudian dalam implementasi kebijakan modifikasi menambah pengawasan terhadap UU yang telah ada tetapi diawasi dengan ketat. Berikutnya aparatur hanyan melakukan pengawasan dan sanksi yang tegas tanpa mengganti tenaga yang sudah professional. Didalam memberikan izin land clearing, masih memberi izin HPH akan tetapi akan mencabutnya apabila membakar hutan. Di kriteria hukuman menambah hukuman denda. Serta di dalam sarana prasarana masih seperti status quo akan tetapi melakukan koordinasi dengan pihak lain. Kebijakan modifikasi ini memiliki beberapa keunggulan seperti dalam sarana prasarana, dengan kebijakan seperti itu biaya yang di keluarkan menjadi lebih murah. Begitu pula dengan aparatur. Sehingga biaya penanggulangan kebakaran bisa ditekan. Kebijakan modifikasi banyak memiliki kekurangan, diantaranya masih seperti kebijakan yang lama, sehingga efektifitasnya ditakutkan masih seperti yang status quo. 3. Kebijakan system baru Kebijakan system baru menawarkan kebijakan-kebijakan baru untuk menanggulangi kebakaran hutan. Seperti dalam tujuan hukum kebijakan baru menawarkan UU melarang segala jenis land clearing seperti membuat semacam SKB atau inpres speri dalam illegal looging. Agar para pelaku pembakar hutan menjadi jera. Di dalam implementasi system baru memperkuat baik itu pengawasan, pelaksanaan, dan penanggulangan dari birokrasi sampai yang bersangkutan dengan hutan. Selanjutanya di dalam aparatur system baru menawarkan merekrut aparat yang professional, serta memberi sanksi terhadapa yang menimpang dan memberi reward kepada yang berprestasi. Di dalam izin pembukaan hutan tidak memberi izin dengan alasan apapun. Dan HPH serta yang berkenaan penggunaan hasil hutan, itu semua hanya boleh dimiliki oleh negara. Kemudian di dalam sanksi sama seperti sidalam alternatif pada UU kehutanan, yaitu membuat hukuman penjara yang berat, seperti dalam illegal looging. Masalah sarana prasarana dalam penanggulangan kebakaran hutan harus mengadakan alat-alat yang baru agar kebakaran cepat ditanggulangi. Kebijakan system baru memiliki banyak keunggulan diantaranya adalah hukum berdiri kokoh, izin diperketat implementasi yang jelas serta sanksi yang tegas. Dan prasarana yang memadai. Dengan hal ini maka kebakaran hutan di Indonesia menjadi cepat ditanggulangi. Akan tetapi kebijakan system baru memiliki beberapa kekurangan yaitu memerlukan anggaran biaya yang besar serta memerlukan waktu adaptasi bagi para stakeholder yang menjalankanya.   E. Alternatif kebijakan yang akan dipilih Setelah melakukan beberapa alteranatif kebijakan baik itu quo, modifikasi atau system baru, maka kebijakan system baru yang dipilih karena kebijakan baru bisa dipandang paling efektif dan kemungkinan menurunkan angka luas kebakaran hutan sangat besar. Karena dengan hukum kuat dan tegas, implementasi yang jelas, aparatur yang professional, sanksi yang tegas, dan sarana prasarana yang bagus, akan cepat menanggulangi kebakaran selama ini. BAB III PENUTUP Kawasan Indonesia dari Sabang sampai Merauke sebagian besar merupakan kawasan hutan tropis yang luas, hal ini yang membuat dunia menjuluki Indonesia sebagai paru-paru dunia. Karena hutan mampu menyerap karbon yang dikeluarkan oleh asap-asap pabrik di seluruh dunia. Akan tetapi pada akhir-akhir ini hal tersebut menjadi berubah ketika hutan di Indonesia terus berkurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yakni penebangan hutan dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan disebabkan oleh banyak hal baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Disengaja dengan membuka lahan dengan membakar hutan dan yang tidak disengaja seperti membuang puntung rokok, atau akibat pengaruh global warming. Akan tetapi penyumbang kebakaran hutan terbesar adalah pelaksanaan land clearing oleh perusahaan-perusahaan besar. Menurut data dari departemen kehutanan kuas kebakaran berkisar belasar ribu pada tahun 2000 sampai 2006 diramalkan dalan angka seperti itu atau naik sedikit pada tujuh tahun kedepan. Oleh karena itu perlu dibuat kebijakan yang mengatur tentang penanggulangan kebakaran hutan. Ada 3 alternatif kebijakan yaitu status quo, modifikasi dan system baru. Ketiga alternatif kebijakan ini memiliki keunggulan dan kekurangan. Tetapi kebijakan yang dipilih adalah sistem baru, karena lebih efektif dalam menanggulangi kebakaran hutan Dengan adanya alternatif kebijakan seperti ini diharapkan mampu menaggulangi penyakit kronis yang terjadi setiap tahun sehingga pada masa yang akan datang kebakaran hutan akan berkurang menjadi nol DAFTAR PUSTAKA Dunn. N., Wiliam. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua Indonesian Edition. Yogyakarta. Gajah Mada University Press AG. Subarsono, Analisis KebijakanPublik, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2006. http ://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/bakarhutan/060925_kebkaran-htn Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Indonesia. www. Sang petualang. Com. Update Sep 2006 Albert Hasudungan, Pengamat Ekonomi Kehutanan, www. wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Com . Update 6 mei 2008